Masa Kejayaan Singkat, 3 Startup Decacorn Ini Tak Bertahan Lama

Ketika mendengar istilah decacorn, Anda mungkin berpikir tentang sebuah perusahaan rintisan dengan valuasi fantastis yang berpotensi menjadi unicorn. Namun ternyata, status decacorn tidak selalu berarti kesuksesan. Dua startup terbesar di Indonesia pernah menyematkan predikat decacorn, yaitu GoTo dan JnT. Sayangnya, masa kejayaan mereka tidak bertahan lama.

Apa Itu Decacorn?

Apa Itu Decacorn?

Decacorn adalah sebutan untuk startup yang memiliki nilai valuasi mencapai minimal USD10 miliar atau sekitar Rp154 triliun. Status decacorn biasanya diberikan kepada perusahaan rintisan atau startup yang telah mencapai kesuksesan dan pertumbuhan yang pesat.

Di Indonesia, gelar decacorn pernah disematkan kepada dua startup besar, yaitu GoTo dan JnT. Pada tahun 2021, GoTo disebut telah mencapai valuasi USD30 miliar dan JnT memiliki valuasi sekitar USD20 miliar. Namun, kejayaan kedua perusahaan ini tak bertahan lama.

Valuasi yang tinggi bukan jaminan keberlangsungan bisnis dalam jangka panjang. Sejumlah faktor seperti model bisnis yang tidak berkelanjutan, kurangnya inovasi, persaingan yang semakin ketat, hingga kondisi ekonomi yang tak menentu dapat membuat startup berskala besar mengalami kemunduran.

Oleh karena itu, meskipun telah mencapai status decacorn, sebuah startup tetap perlu terus berinovasi, memperkuat model bisnis, meningkatkan kualitas layanan dan produk, serta senantiasa memperhatikan perkembangan pasar dan kebutuhan pelanggan. Hanya dengan cara ini, sebuah decacorn dapat mempertahankan posisinya dan terus tumbuh secara berkelanjutan.

3 Startup Decacorn Yang Gulung Tikar

Beberapa startup yang sempat mendapatkan status decacorn, namun akhirnya gulung tikar. Berikut 3 startup decacorn yang tak bertahan lama:

WeWork

WeWork adalah perusahaan yang menyewakan ruang kantor berbagi. Pada tahun 2019, WeWork pernah mencapai valuasi USD47 miliar. Namun, WeWork mengalami kemunduran pesat setelah gagal melakukan IPO. Pendiri WeWork, Adam Neumann, dipaksa mundur dan WeWork harus melakukan pemangkasan karyawan serta menutup beberapa cabang. Kini, WeWork berusaha bangkit kembali di bawah kepemimpinan CEO yang baru.

OneWeb

OneWeb adalah perusahaan yang bergerak di bidang satelit broadband. Pada tahun 2019, OneWeb pernah mendapatkan pendanaan sebesar USD3,4 miliar dan mencapai valuasi USD4,8 miliar. Namun, pada pertengahan tahun 2020, OneWeb mengajukan kebangkrutan karena tidak mampu mendapatkan pendanaan tambahan di tengah pandemi. Sebagian aset OneWeb kemudian dibeli oleh perusahaan telekomunikasi Bharti Global Ltd dan pemerintah Inggris.

Tanpa merek

Brandless adalah perusahaan e-commerce yang menjual produk dengan harga serendah USD3. Pada masa kejayaannya, Brandless pernah mendapatkan pendanaan USD292 juta dan valuasinya mencapai USD500 juta. Sayangnya, Brandless tidak mampu bersaing dengan raksasa e-commerce seperti Amazon dan tutup pada tahun 2020. Produk-produk Brandless kemudian diambil alih oleh perusahaan makanan dan minuman Kroger.

WeWork – Tak Selalu Sukses Meski Valuasi Tinggi

WeWork merupakan perusahaan penyedia ruang kerja bersama yang didirikan pada tahun 2010. Meskipun pada tahun 2019 lalu WeWork sempat mencapai valuasi USD47 miliar atau sekitar Rp700 triliun dan hampir mencapai status “decacorn”, namun sayangnya perusahaan ini tak bertahan lama.

Dalam waktu kurang dari setahun, valuasi WeWork anjlok hingga 80% menjadi hanya USD8 miliar saja. Penurunan drastis ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah model bisnis WeWork yang dinilai tidak berkelanjutan, kerugian operasional yang terus meningkat, serta kepemimpinan CEO Adam Neumann yang dinilai kurang kompeten.

Sejak didirikan, WeWork selalu mengalami kerugian operasional yang semakin membesar. Pada 2018, kerugian WeWork mencapai USD1,9 miliar. Kemudian pada 2019, kerugian ini bertambah menjadi USD3 miliar. Model bisnis WeWork yang hanya menyewakan ruang kerja dengan harga murah ternyata tidak menguntungkan.

Ditambah lagi dengan gaya kepemimpinan CEO Adam Neumann yang dianggap arogan dan tidak bertanggung jawab. Neumann pernah menjual properti pribadinya kepada WeWork dan melakukan transaksi yang menguntungkan dirinya sendiri. Hal inilah yang membuat investor kehilangan kepercayaan pada WeWork dan memutuskan untuk menarik diri.

Akhirnya, DEWABINGO WeWork harus melakukan restrukturisasi dan Neumann digantikan oleh CEO yang baru. Sayangnya, semua ini terlambat dilakukan dan WeWork harus rela kehilangan valuasi yang sangat besar dalam waktu singkat. Kisah WeWork ini menjadi pelajaran berharga bahwa valuasi yang tinggi belum tentu menjamin kesuksesan, apalagi jika didukung oleh model bisnis yang tidak berkelanjutan.

Theranos – Kebohongan Yang Membuat Startup Ini Bangkrut

Theranos adalah startup pengujian darah yang didirikan pada tahun 2003 oleh Elizabeth Holmes. Startup ini mengklaim telah mengembangkan mesin pengujian darah hemat biaya yang hanya membutuhkan beberapa tetes darah untuk melakukan berbagai tes diagnostik. Theranos mulai beroperasi secara komersial pada tahun 2013 dan dengan cepat mencapai valuasi USD 9 miliar, sehingga mendapatkan status decacorn.

Sayangnya, pada tahun 2015, sebuah laporan investigasi dari The Wall Street Journal mengungkapkan bahwa mesin tes Theranos tidak berfungsi seperti yang diklaim. FDA menyelidiki lebih lanjut dan menemukan bahwa mesin tes Theranos tidak akurat dan tidak sesuai standar. Elizabeth Holmes kemudian dituduh melakukan penipuan oleh SEC. Akibatnya, mitra bisnis Theranos seperti Walgreens menghentikan kerja sama. Valuasi Theranos anjlok dari USD 9 miliar menjadi nol.

Pada tahun 2018, Theranos akhirnya bangkrut dan ditutup. Kisah Theranos menjadi peringatan bagi startup lain bahwa kebohongan dan manipulasi tidak akan bertahan lama. Transparansi dan integritas adalah kunci keberhasilan jangka panjang.

Meski penuh kontroversi, kisah Theranos juga menginspirasi. Elizabeth Holmes berhasil membangun startup dengan valuasi tinggi dalam waktu singkat, meski akhirnya gagal karena tidak jujur. Kisah ini menunjukkan bahwa wanita muda dengan ide cemerlang dapat membangun bisnis bernilai miliaran dolar, meskipun masih banyak tantangan yang harus dilewati.

Grab – Masih Bertahan Meski Banyak Tantangan

Grab merupakan salah satu startup decacorn pertama di Asia Tenggara yang berhasil mencapai valuasi USD10 miliar pada tahun 2019. Sayangnya, sejak pandemi COVID-19 merebak, valuasi Grab turun drastis menjadi sekitar USD3,8 miliar. Meskipun demikian, Grab masih bertahan dan terus berupaya membangun kembali valuasinya.

Sebagai perusahaan transportasi online, Grab tentu terdampak pandemi yang mengharuskan masyarakat untuk melakukan physical distancing. Hal ini berimbas pada penurunan permintaan layanan transportasi dan mobilitas masyarakat secara umum. Namun, Grab berhasil beradaptasi dengan memperluas layanan pesan-antar makanan, kendaraan sewaan jangka panjang, dan logistik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang lebih banyak beraktivitas di rumah.

Langkah strategis

Beberapa langkah strategis yang diambil Grab antara lain:

  1. Memperluas layanan GrabFood dan GrabMart untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang lebih banyak beraktivitas di rumah.
  2. Meluncurkan layanan penyewaan kendaraan jangka panjang GrabRentals untuk memenuhi kebutuhan mobilitas masyarakat yang ingin menghindari transportasi umum.
  3. Berkolaborasi dengan berbagai brand lokal dan global untuk promosi dan diskon di aplikasi Grab.
  4. Bermitra dengan berbagai perusahaan logistik untuk memperluas layanan pengiriman barang GrabExpress.

Meski masih menghadapi banyak tantangan, Grab terus berinovasi dan beradaptasi untuk tetap relevan di tengah pandemi. Dengan strategi yang tepat, Grab diyakini mampu kembali meraih kesuksesannya dan bahkan bisa kembali meraih status decacorn. Faktor kunci keberhasilan Grab adalah kemampuannya beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan, memanfaatkan momentum digitalisasi, dan memberikan solusi bagi kebutuhan masyarakat.

Conclusion

Jadi begitulah, walau sekilas terlihat megah dan menjanjikan, status decacorn ternyata bukan jaminan keberlanjutan bagi sebuah perusahaan rintisan. Sebagai pelaku bisnis, kita perlu belajar dari contoh GoTo, JnT dan Tokopedia ini. Valuasi yang tinggi bukan berarti kemenangan mutlak dan kesuksesan yang berkelanjutan. Perlu strategi jangka panjang, inovasi yang terus menerus, serta kemampuan beradaptasi dengan perubahan zaman. Jangan sampai kita terjebak dalam rasa puas dan lengah hanya karena sesaat dinobatkan sebagai “unicorn” atau bahkan “decacorn”. Kemenangan sejati adalah ketika kita mampu terus berkarya, memberikan manfaat, dan melayani masyarakat dalam jangka waktu yang lama. Itulah pesan moral dari kisah singkat kejayaan tiga decacorn Indonesia ini.